Saturday, August 13, 2016

PASTEL ON BABY DOLL

PASTEL ON BABY DOLL

By Malene Birger sequin top
2.528.925 IDR - theoutnet.com

FRACOMINA red leather jacket
2.517.960 IDR - fracomina.it

Current/Elliott skinny jeans
1.441.975 IDR - theoutnet.com

Monnalisa floral skirt
mobile.harrods.com

New balance sneaker
1.441.130 IDR - yoox.com

Mansur Gavriel mini backpack
10.596.535 IDR - net-a-porter.com

Beach jewelry
1.823.680 IDR - popmap.com

Nadia Minkoff silver jewellery
1.214.910 IDR - wolfandbadger.com

Sunday Somewhere mirror sunglasses
3.306.120 IDR - avenue32.com

Missoni scarve
1.411.460 IDR - theoutnet.com

Casetify iphone case
524.800 IDR - casetify.com

Dorothy Perkins accessory
118.080 IDR - dorothyperkins.com

Christian Dior lip makeup
459.200 IDR - bloomingdales.com

Nars cosmetic
341.120 IDR - beauty.com

Palette eyeshadow
124.640 IDR - claires.com

Sunday, July 03, 2016

Sebab Perempuan Butuh Kecerdasan, Bukan Label, Titik!

Apakah Anda yakin pasangan Anda sudah tercerahkan bahwa perempuan juga manusia yang akalnya boleh digunakan setara dengan kaum Adam? Apa? Belum? Modyar ae.

Sesusah-susahnya jadi perempuan, ia selalu sah untuk selfie dan mengunggahnya dengan bahagia di media sosial. Perempuan juga bebas gosip sana-sini, membicarakan sesama teman perempuan maupun laki-laki, bebas mengeluh apa saja di akun media sosial pribadinya, monyong-monyong bibir tak lama kemudian, dan tetap mendapat banyak jempol dan pujian modus di kolom komentar.
Bagaimana dengan laki-laki? Tentu tidak begitu. Ruang gerak laki-laki sungguh terbatas. Sist-sist semua tentu akan segera memblok akun laki-laki yang monyong-monyong, apalagi sambil miring-miringin kepala atau badan karena takut ketahuan berbadan lebar. Mas Arman Dhani atau Mas Nuran, setahu saya tegar menghadapi kenyataan angka di timbangan dan belum pernah foto miring-miringin badan.
Laki-laki yang tidak membicarakan gagasan apapun di media sosial, barangkali ditakdirkan dengan kesombongan yang lain, seperti pamer motor atau mobil sport, gawai, plesiran di alam, atau update jadwal Liga Champions. Sebagian kecil sekali, merasa telah jantan dengan joke meme personel JKT 48, polwan cantik, atau artis seksi bookingan.
Tetapi, tetap saja, yang berhak meramaikan linimasa dengan wajah close up pamer lippenpuluhan seri, tas Prada KW 10, jadi bakul hijab musiman, gambar makanan, foto pasangan, album perkembangan balita dari ASI ekslusif sampai usia yang tidak ditentukan, aneka rupa jualan, tautan-tautan semacam “doa untuk calon jodohku”, serta panduan hidup mutakhir ala Mario Teguh, adalah kita semua, wahai kaum perempuan yang tak pernah salah dan tak mau disalahkan!
Di tengah peradaban linimasa yang dikuasai oleh kaum perempuan macam itu, angin segar berhembus dari Teen Vogue yang merilis daftar “10 Badass Young Feminist Who Are Totally Changing The Game in 2016”.
Adalah seorang Sonita Alizadeh, muslimah rapper berusia 19 tahun asal Afghanistan yang giat bersuara untuk menyuarakan penolakan pada pernikahan di bawah umur. Setiap tahun, di negaranya, 15 juta anak perempuan di bawah umur dipaksa menikah. Mereka tidak punya pilihan, tidak sempat memikirkan masa depan, serta tak berhak mengembangkan diri. Sonita, yang memiliki kesempatan kabur ke US untuk studi, terus berkampanye agar para gadis memperoleh kemerdekaan berpendapat.
Ada pula nama Amani Al Khatahtbeh. Gadis berusia 23 tahun ini ialah founder sebuah platformonline MuslimGirl.net. Laman tersebut mengangkat suara perempuan untuk berani berbicara tentang segala hal mulai dari kultur pop hingga peristiwa-peristiwa terkini. Mengajak perempuan menulis kolom pemikiran, khususnya muslimah dunia, agar dapat membela dirinya sendiri dengan kesadaran berwacana. MuslimGirl selalu siap berkonfrontasi dengan stereotipe negatif terhadap perempuan dan berjuang untuk mendukung kebijakan yang berkaitan dengan perbaikan nasib kaum Hawa.
Saya pribadi sebenarnya termasuk orang yang males dengan istilah feminis, maskulinis dan is-is lainnya. Belum lagi segala macam turunannya, mulai dari feminis radikal, feminis pecinta lingkungan, feminis sosialis, hardcore feminist, dan banyak lagi. Kebanyakan label, terlalu sloganistis, tapi ujung-ujungnya cuma sibuk berkutat pada definisi, sibuk meneguhkan posisi, perang gosip, hingga akhirnya berantem antar kolektif sana-sini.
Apa dan siapa yang dibela? Nggak jelas. Lihat aja konten zine-zine kolektif feminis anti seksis yang banyak berisi curhat dianiaya mantan dengan kekerasan fisik dan serapah umpatan pada laki-laki. Nah loh? Siapa yang seksis? Saya jadi terpaksa ingat dengan oma-oma Gerwani yang garang, tapi tetap saja lemah di hadapan Pak Karno. Ah, Oma…kita memang tetap perempuan yang baper sejak dalam proses persalinan.
Tapi, Sonita dan Amani, mereka barangkali adalah para feminis yang suci sejak dalam pikiran, perkataan dan perbuatan. Meski, tentu saja, akan ada yang akan memandang sederhana perbuatan mereka: “Biasa aja keleus kampanye sama bikin web doang sih gue juga bisa!”
Yakin bisa?
Menghentikan pernikahan di bawah umur itu bukan perkara sederhana. Dunia yang modern ini, sayangku, ternyata hanya ilusi. Di kota-kota di Jawa, barangkali kurang dari 10 km dari rumah Anda, gadis-gadis desa yang tidak disekolahkan orangtuanya adalah fakta. Para orang tua akan menjual tanah demi anak laki-laki jadi tentara atau polisi lengkap dengan amunisi motor Ninja agar lengkap ia membusungkan dada pada ciwi-ciwi SMA.
Lalu anak gadisnya? Ah, lebih baik segera dinikahkan saja.
Membuat platform online sebagai media perempuan untuk mengartikulasi gagasan juga tidak sederhana, Sista. Lihatlah, walaupun kita punya banyak majalah wanita, isinya tak jauh dari iklan kosmetika, fashion, dan ramalan asmara. Jikapun ada tulisan, palingan cuma tips tentang cara memilih tukang sulam bibir atau cara bergaul yang baik, bukan tentang apa yang penting diobrolkan dalam pergaulan. Berbeda jauh dengan editorial Soleh Solihun di majalah Playboy atau RollingStone. Perempuan, di tengah gemerlap zaman kebebasan, tanpa sadar tetaplah terpingit oleh hal-hal artifisial.
Itulah pasal mengapa eksploitasi tubuh perempuan tetap kemripik bagai taburan wijen pada onde-onde sebagaimana tercitra dalam iklan televisi, papan reklame di jalan-jalan, film, majalah, atau samping kiri-kanan beranda akun fesbukmu. Kata “cantik” atau “seksi” selalu menjadi identitas kunci berita tentang perempuan baik yang syar’i maupun yang berbikini. Perempuan tak layak menyandang identitas “cerdas”, “bijak”, dan lainnya.
Persoalannya, menjadi cerdas, bijak, apalagi bercita-cita jauh mencapai derajat “khalifah” itu soal kemauan untuk mengaktifkan tombol “ON” akal sehat yang sudah dititipkan Tuhan kepada manusia.
Sukinah, perempuan pemimpin pergerakan tolak tambang semen di Rembang sana barangkali tak pernah sekolah. Tapi akal sehatnya terus diasah lewat kesadaran panca inderanya bersama alam. Yu Sukinah pasti tidak pernah update status berisi analogi menggelikan tentang perempuan-perempuan yang belum berjilbab setara buah busuk yang dikerubut lalat.
Setelah semua uraian panjang lebar ini, masihkah Anda menganggap para perempuan (penggerak itu) biasa-biasa saja? Barangkali sist sekalian perlu membaca Persepolis atau Embroideries, novel grafis karya Marjane Satrapi yang menyadarkan kita bahwa hal remeh macam “berkata tidak” dan menyuarakan kehendak, memang tidak mudah bagi banyak perempuan. Tak perlu jauh ke Iran atau Afghanistan, kok.
Contoh sederhana, apakah Anda yakin pasangan Anda sudah tercerahkan bahwa perempuan juga manusia yang akalnya boleh digunakan setara dengan kaum Adam?
Apa? Belum?
Modyar ae.

Oleh: Kalis Mardiasah
Sumber: Mojok.co 

Salah Kaprah Ekonomi Kreatif Indonesia

Pemerintahan Jokowi nampak serius sekali menggarap ekonomi kreatif. Setelah hampir dua periode pemerintahan SBY mencoba mengelola ekonomi kreatif lewat kementrian, kini presiden menganggap cara yang lebih efektif adalah dengan membuat lembaga di luar kementrian yang posisinya langsung di bawah pengawasan presiden. Namun, sudah benarkah arah dan misi sesungguhnya dari jargon ekonomi kreatif ini? Jangan-jangan hanya akan jadi lembaga yang sama dengan kementrian dua periode kemarin? yang gamang menentukan arahnya mau kemana?


Ekonomi kreatif ala pemerintah Indonesia ini dibawa dari konsep ekonomi kreatif milik pemerintah Inggris, yang pada awal tahun 2000-an menyadari betapa aset bangsa yang dilahirkan sebagai produk kreatif mampu memberikan pemasukan besar bagi pemerintah Inggris. Konsep ini dimatangkan sedemikian rupa demi meningkatkan pemasukan negara (ekonomi) dari sektor usaha yang berbasis kreativitas.



Kesuksesan ini nampaknya menggiurkan SBY saat itu dan memutuskan untuk ikut menjalankan konsep ekonomi kreatif ini di Indonesia. Terbentuklah kementrian pariwisata dan ekonomi kreatif atau lebih dikenal dengan Kemenparekraf. Sayangnya selama hampir sekian tahun perjalanan kerjanya, belum nampak kisah-kisah sukses dari kementrian ini. Para pekerja dan perusahaan di bidang kreatif masih berjalan sendiri tanpa ada sentuhan atau terbantu dari kementrian ini. Seolah-olah tanpa kementrian ini pun mereka akan tetap jalan, bekerja, dan tetap menghasilkan uang. Beberapa kali kemenparekraf mengadakan pameran, workshop, festival, dan pertemuan-pertemuan, yang entah bagaimana hanya bagaikan gelembung sabun yang hanya berbuih saat dikocok-kocok saja, kemudian saat diam, buih pun hilang, dan lenyap lagi. Apa yang salah ya?

Beberapa kali saya pun diundang dan diajak diskusi panjang lebar oleh kemenparekraf. Bertemu dengan teman-teman di kementrian, para praktisi kreatif, akademisi, juga pemerhati dan penikmat dunia kreatif. Semua seolah sudah saling berjejaring dan memiliki semangat yang sama, akan tetapi tetap gagal menemukan TUJUAN asli dari misi ekonomi kreatif ini. Saya jadi penasaran dan akhirnya mencoba membuka-buka “catatan” perjalanan ekonomi kreatif Inggris ini, yang kemudian saya berhasil menemukan titik di mana duduk awal masalahnya, yaitu.. ekonomi kreatif Indonesia lebih disibuki oleh orang-orang kreatif-nya saja dan sangat minim sekali mengajak dan melibatkan orang-orang atau pakar di bidang yang sebetulnya lebih penting, yaitu bidang ekonomi.

Suatu hari, saya pernah ditawari untuk mendesain sebuah logo. Logo perusahaan baju kelas rumahan (home industry). Orang itu tanya kepada saya, berapa harga mendesain sebuah logo? Saya yang sudah bekerja di bidang kreatif puluhan tahun, hingga saat itu masih kesulitan memberikan harga yang pas, wajar, dan valid untuk orang itu. Kasih harga normal dia kaget, dikasih harga profesional apalagi, dikasih harga teman, dia bilang ada mahasiswa desain yang berani kasih harga lebih murah dari itu. Ujung-ujungnya saya bertanya balik kepada dia: berapa budget yang anda punya? Sebuah pertanyaan yang saya yakin sekali mayoritas pekerja kreatif di Indonesia pernah menanyakan pertanyaan yang sama.

Contoh cerita barusan adalah contoh masalah mendasar dari yang namanya EKONOMI kreatif, yaitu appraisal atau taksiran harga. Bagaimana kita bisa membangun sebuah struktur ekonomi tanpa ada struktur HARGA? Lalu dari mana harga bisa dibangun tanpa adanya kemampuan valuation atau memberikan taksiran nilai? Yang mana akhirnya semua harga yang terjadi di ekonomi bidang kreatif ini seolah-olah lahir hanya dari cocok-cocokkan, suka-suka dan suka sama suka saja. Kualitas SDM, kualitas material, jaminan kerja, jaminan karya, semua seolah tidak masuk dalam valuation tadi. Jangan kaget jika anda tahu bahwa ada sebuah perusahaan besar yang meminta desainer grafisnya mencomot foto / image gratisan di Google untuk desain promonya? Jangan kaget juga jika ada pabrik mebel yang tidak punya desainer produk karena mereka merasa cukup menyewa tukang mebel yang paham menjiplak mebel buatan asing? Bagaimana kalau semua contoh barusan saya sebut sebagai “cara-cara kreatif” pekerja Indonesia? Apa yang lolos dari contoh tadi? YES.. Tidak adanya kesadaran akan “value“, baik dari klien, pekerja, dan pemerintah dalam bidang kerja kreatif tadi. Jika kasus barusan dilempar ke wacana ekonomi kreatif, maka akan ada pertimbangan dan hitung-hitungan panjang yang tidak hanya sekedar bicara desain bagus atau desain jelek.

Perusahaan yang membutuhkan jasa desain atau pekerja kreatif, tentu akan berfikir panjang jika mereka harus merekrut desainer yang suka menjiplak atau mencuri desain. Dengan kewajiban mereka harus menggaji para pekerja kreatif, maka sudah pasti perusahaan itu akan menuntut balik nilai keprofesionalan pegawainya, baik dari ide, gagasan, konsep, atau kualifikasi dan sertifikasi keprofesian si pegawainya. Yang mana ini akan berkaitan juga dengan lembaga keprofesian pekerja kreatif (baik itu desainer grafis, arsitek, musisi, penari, dst). Begitu pula dengan si pekerja yang di-hire oleh perusahaan. Sudah pasti ia tidak akan mempertaruhkan karirnya dengan melakukan hal-hal konyol seperti mencuri ide atau menjiplak desain orang lain. Artinya semua ini rantai berkait, kepentingannya sama, kebutuhannya pun sama. Lalu siapa yang bisa melakukan pengawasan dan pengelolaan ini? Yup.. jelas pemerintah. Akan tetapi bagaimana mungkin pemerintah mampu memegang dan mengelola sistem dan struktur kerja barusan jika hanya diisi oleh orang-orang kreatifnya saja? Pincang bukan?

Pertanyaan penting yang harus menjadi landasan lembaga kreatif baru buatan tim Jokowi nanti adalah: Berapa persen kontribusi bidang usaha kreatif sejak sebelum dan sesudah didirikannya kemenparekraf selama dua periode? Lalu berapa besar kontribusinya terhadap pemasukan ekonomi nasional dibandingkan dari sektor-sektor lain? Seberapa signifikan?

Suatu saat teman saya nyeletuk: tapi kan ekonomi kreatif ini baru, jadi harus melakukan semacam edukasi juga, baik kepada perusahaan, pekerja kreatif, maupun pemerintah sendiri. Makanya ada workshop, pelatihan, dan diskusi-diskusi.. itu bagaimana?

OK, akan tetapi sebaiknya ganti saja namanya, jangan EKONOMI KREATIF, melainkan EDUKASI KREATIF. Mengapa? ya karena dalam program ini tidak akan ada kewajiban untuk meningkatkan pemasukan ekonomi negara. Jangan-jangan lembaga ini malah akan berkaitan dengan Diknas? atau Dikti? Lalu apa KPI-nya? ya bisa jadi dengan meningkatnya lulusan dan pekerja kreatif di daerah-daerah? Bisa-bisa saja, yang jelas bukan target peningkatan pendapatan ekonomi. Coba diingat, ekonomo kreatif itu harusnya bukan buang uang, melainkan memasukkan uang. Sementara edukasi kreatif itu jelas harus buang uang, jangan dituntut untuk memasukkan uang. Bagaiman dengan kemenparekraf kemarin? Buang uang? atau memasukkan uang?

Sejauh ini, saya cuma membaca berita-berita yang berkaitan dengan upaya Jokowi membangun dewan atau lembaga ekonomi kreatif. Dari semua berita hampir jarang dan tidak pernah terlihat ada pakar ekonomi di sana. Padahal, masalah krusial dari industri dan ekonomi kreatif adalah meng-ekonomikan nilai-nilai kreativitas. Seperti yang sudah kita tahu semua bahwa jasa ide, gagasan, dan konsep kreatif ini adalah jasa intangible (tak berujud) bukan? Jasa usaha yang sulit sekali mendapatkan valuation business-nya sebelum memiliki karya atau produk kreatif (tangible). Jadi jangan kaget jika bank sulit sekali memberikan pinjaman kepada kita-kita yang punya konsep atau business plan usaha kreatif. Lantas, apa kita harus demo dan menekan pemeritah agar bank mau melonggarkan kebijakan peminjaman modal bagi intangible business yang tidak ada valuation-nya?



Tahun 2015 ini adalah tahun dimulainya kesepakatan ekonomi bersama ASEAN yaitu Asean Economy Community. Sebuah kesepakatan pasar bebas dan usaha dari masyarakat ekonomi negara-negara Asean. Artinya persaingan usaha akan melebar di luar pasar dalam negeri saja. Pertanyaannya, bagaimana para pekerja kreatif Indonesia siap bersaing dengan pekerja kreatif negara tetangga jika kita belum mampu mem-valuation kemampuan SDM kreatif dalam negeri?

Saran saya kepada Pak Jokowi, mulailah lebih banyak mengundang para ahli ekonomi, penaksir harga, selain juga para “tukang hitung” proyek kreatif seperti produser film, produser sinetron, kurator seni, festival project manager, dan sejenisnya. Mengapa? karena mereka-mereka lah yang paling paham bagaimana mengkuantifikasikan nilai dan harga jasa pikiran, gagasan, dan konsep kreatif, termasuk pekerja-pekerja kreatifnya. Jika tidak? maka siap-siap saja lembaga baru ini nanti akan kembali menjadi lembaga kumpul-kumpul dan kongkow-kongkownya orang kreatif saja.

Catatan revisi: Ekonomi kreatif Indonesia muncul sejak Kementrian Perdagangan yang dipimpin oleh Ibu Mari Elka (2004 – 2011), yang kemudian tahun 2011 pemerintahan SBY melakukan reshuffle kabinet yang akhirnya lahir Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Jadi usia keberadaan ekonomi kreatif tidak persis terjadi sejak awal pemerintah SBY. Sebutan 2 periode dan 10 tahun dalam tulisan di atas hanya frase saja – Catatan dan revisi saya lakukan untuk menghindari salah persepsi. Terima kasih.

Artikel oleh Motulz.